KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subahanahu Wa Ta’ala, karena
berkat Rahmat, Inayah, dan Hidayah-Nya lah saya dapat menyusun sekaligus menyelesaikan sebuah
makalah tentang “Peradilan Agama Di Indonesia.”
Dalam
hal ini saya
mohon kepada pembaca untuk memberi kritik dan saran
yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Dan saya menyadari bahwa manusia mempunyai sifat serba
kekurangan, mungkin para pembaca menjumpai kekeliruan dan kekurangan yang tidak
saya sengaja maka saya mohon maaf yang
sedalam – dalamnya.
Serta
semoga makalah ini mendapat Berkah dan Ridha dari Allah SWT. sehingga dapat
membawa manfaat bagi para pembaca khususnya bagi diri saya sendiri. Amin ya
robbal ‘alamiin.
Kuala Kapuas, 29 Agustus 2012
Ttd
Elsa Kemala
BAB I
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Perjalanan kehidupan pengadilan agama
mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya
sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada
kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan
dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa
dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi
pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik
hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah
mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan
perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di
Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M,
merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam,
seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru,
yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil
menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya
dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram
ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam
hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui
jalan perdagangan di kota – kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak,
sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat
Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian
besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat
Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan
hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan
lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
DaIam keadaan tertentu, terutama bila
tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu
dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim
(menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan
masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu
sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh
menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif
bentuk hukumnya) dan ta’zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat
kemaslahatan masyarakat).
Bila tidak ada Imam, maka penyerahan
wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa
al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para
sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya
peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority
dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang
yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan
peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar’i
(peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada
permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana
masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam
yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah
terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya
sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah
diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka
peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu
al-hally wa al-aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang
dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in
rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat
terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari
imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk
kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali
al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam
diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan
setempat. Sidang – sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung
di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut “Pengadilan
Serambi”. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh
Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau
hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai
wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam
menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah
perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa
kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak
terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus
keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC,
kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan
tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini
tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.
Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan
agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai
menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi
kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah
Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan “landraad” (pengadilan
negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan
putusan pengadilan agama dalam bentuk “excecutoire verklaring” (pelaksanaan
putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud
Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns berlangsung
sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk
Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 – 152 telah mengubah
susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut
dengan “preisterraacf” tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta
pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada
sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116
telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang
perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan
kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa
dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya
pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di
tempat-tempat lain di seluruh Indonesia (Daniel S Lev: 35-36).
Usaha untukmenghapuskan pengadilan agama
masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun
1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara
untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa
peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan
peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan
pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak
hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 – 37).
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam
undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin Memperteguh pelaksanaan ajaran Islam
(HukumIslam).
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan
keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat
dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan
peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil
peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang
menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak
dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa
kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di
lingkungan keraton yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang bersumber
dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV
pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah
Mambaul Ulum pada tahun 1905.
Demikian pula para personil yang telah
banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama
yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar
Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu
Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang,
KH.Musta’in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi
tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an,
perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga
hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi
agama.
Dari uraian singkat tentang sejarah
perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan
agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada
masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat
terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut :
Kelembagaan
Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain – yang
secara nyata – didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang
memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Materi Hukum
Hukum
Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan
perundang-undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum Islam, yang
selanjutnya perlu disempurnakan dan dikembangkan, kemudian hukum mengenai
shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian pula dengan hukum formil
peradilan agama perlu dikembangkan.
Personil
Dalam
melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang profesional,
netral (tidak memihak) dan sebagai anggota masvarakat ia orang yang menguasai
masalah keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu masyarakat sekelilingnya
serta punya integritas sebagai seorang muslim.
A.
Dasar Hukum Peradilan Agama Di Indonesia
Dasar Hukum Peradilan agama Menurut UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35
Tahun 1999 Serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Meskipun ada perubahan terhadap pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, yang
menyatakan bahwa secara organisatoris, administrative dan finansial Peradilan
Agama berada di bawah Mahkamah Agung, namun baik sebelum atau sesudah lahirnya UU
No. 35 Tahun 1999, Peradilan Agama tidak mengalami perubahan seperti yang
ditentukan terhadap lingkungan peradilan yang lain yaitu dalam waktu lima tahun
secara bertahap sudah harus berada di di bawah Mahkamah Agung.
Saat ini pengaturan mengenai struktur organisasi, administrasi dan
finansial lembaga Peradilan Agama ke “satu atap” yaitu di bawah Mahkamah Agung
telah semakin kokoh dengan keluarnya UU No. 3 tahun 2006 yang mengaturnya lebih
lanjut pada Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 7
tahun 1989 yang berbunyi “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, dan finansial
pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Sedangkan pada pasal 1 angka 6 juga
terdapat penyesuaian terhadap bunyi Pasal 12 ayat (1) UU Peradilan Agama
tersebut sehingga berbunyi : “ Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.”
C.Tugas Pokok Dan Fungsi Peradilan Agama Di Indonesia
Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 dan selanjutnya telah diubah kembali dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksankan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan Negara tertinggi. Seluruh pembinaan
baik pembinaan teknis peradilan maupun pembinaan organisasi, administrasi dan
keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pengadilan Agama Merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara – perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang
beragama islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi
Syari’ah sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.
Dengan keluarnya Undang -undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka
kedudukan Peradilan Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di
Indonesia.
Undang-undang
ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, Peradilan
dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”;
Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara;
Ketiga, Mahkamah Agung adalah
Pengadilan Negara Tertinggi.
Keempat, Badan-badan yang
melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada
di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.
Kelima, susunan kekuasaan serta acara
dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal
ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan
agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di
Indonesia.
Untuk
melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai
berikut :
a. memberikan pelayanan Tekhnis Yustisial dan Administrasi
Kepaniteraan bagi perkara Tingkat Pertama serta Penyitaan dan Eksekusi.
b. Memberikan pelayanan dibidang Administrasi Perkara banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali serta Administrasi Peradilan lainnya
c. Memberikan pelayanan
administrasi umum pada semua unsur di Lingkungan Pengadilan Agama.
d. Memberikan keterangan,
pertimbangan dan nasihat tentang Hukum Islam pada instansi Pemerintah di daerah
Hukum nya apabila diminta.
e. Memberikan pelayanan
permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antar orang
– orang yang beragama Islam
f. Waarmerking Akta
Keahliwarisan dibawah tangan untuk pengambilan deposito / tabungan dan
sebagainya
g. Melaksanakan tugas-tugas
pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, memberikan pertimbangan hukum
agama, pelayanan riset/penelitian, pengawasan terhadap advokat / penasehat
hukum dan sebagainya
Bab II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak ada negara yang tidak menginginkan
adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya
ketenteraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih
populer disebut "stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai
individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya,
memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan
terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila
terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan
tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya.
Masyarakat berkepentingan bahwa
keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk
menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah
penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam
melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi
pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan.
Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra
yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal
yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa
atau negara.
B.
Saran
Terima kasih Kepada pembaca yang membaca makalah ini, saya yang menulis ini merasa bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan akan kebenannya, oleh karena itu bila ada yang
benar kita ambil sebagai pelajaran untuk kita, dan yang kelirunya mohon
dimaklumi.