Kata "Bandung" berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu
yang lalu membentuk telaga. Legenda yang diceritakan oleh orang-orang
tua di Bandung mengatakan bahwa nama "Bandung" diambil dari sebuah
kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang
disebut perahu bandung yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Ci Tarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di Dayeuhkolot.
Kota Bandung secara geografis memang terlihat dikelilingi oleh
pegunungan, dan ini menunjukkan bahwa pada masa lalu kota Bandung memang
merupakan sebuah telaga atau danau. Legenda Sangkuriang merupakan legenda yang menceritakan bagaimana terbentuknya danau Bandung, dan bagaimana terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu,
lalu bagaimana pula keringnya danau Bandung sehingga meninggalkan
cekungan seperti sekarang ini. Air dari danau Bandung menurut legenda
tersebut kering karena mengalir melalui sebuah gua yang bernama Sangkyang Tikoro.
Daerah terakhir sisa-sisa danau Bandung yang menjadi kering adalah
Situ Aksan, yang pada tahun 1970-an masih merupakan danau tempat
berpariwisata, tetapi saat ini sudah menjadi daerah perumahan untuk
pemukiman.
Kota Bandung mulai dijadikan sebagai kawasan pemukiman sejak pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya waktu itu Herman Willem Daendels, mengeluarkan surat keputusan tanggal 25 September 1810
tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk kawasan ini. Dikemudian
hari peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota Bandung.
Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906[11] dengan luas wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha di tahun 1949, sampai terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini.[12]
Pada masa perang kemerdekaan, pada 24 Maret 1946,
sebagian kota ini di bakar oleh para pejuang kemerdekaan sebagai bagian
dalam strategi perang waktu itu. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api dan diabadikan dalam lagu Halo-Halo Bandung. Selain itu kota ini kemudian ditinggalkan oleh sebagian penduduknya yang mengungsi ke daerah lain.
Pada tanggal 18 April 1955 di Gedung Merdeka yang dahulu bernama "Concordia" (Jl. Asia Afrika, sekarang), berseberangan dengan Hotel Savoy Homann, diadakan untuk pertama kalinya Konferensi Asia-Afrika yang kemudian kembali KTT Asia-Afrika 2005 diadakan di kota ini pada 19 April-24 April 2005.
Lebih Rinci sejarahnya :
Era Pajajaran
Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bandung semula adalah
ibukota Kerajaan Padjajaran (tahun 1488). Namun dari penemuan arkeologi
kuno, kota tersebut adalah rumah bagi Australopithecus, Manusia Jawa.
Mereka tinggal di pinggiran sungai Cikapundung sebelah Utara Bandung,
dan di pesisir Danau Bandung. Gambar dan fragmen dari sisa tengkorak dan
artifak Batu Api, dapat dilihat di Museum Geologi Jl. Diponegoro 57.
Bandung.
Era Kolonial Belanda
Pada tahun 1786 mulailah dibangun jalan yang menghubungkan Jakarta,
Bogor, Cianjur dan Bandung. Arus pendatang dari Eropa meningkat pada
tahun 1809 saat Louis Napoleon, penguasa Belanda, memerintahkan Gubernur
Jendral H.W. Daendels, untuk meningkatkan pertahanan di Jawa melawan
Inggris. Untuk mengirimkan logistik mereka memerlukan jalan. Karena
daerah pantai banyak terdapat rawa-rawa, akhirnya mereka membangun jalan
ke arah selatan, melewati dataran tinggi Priangan.
The Groote Postweg (Jalur Pos Terhebat) dibangun 11 mil ke arah utara
sampai ke jantung kota Bandung. Seperti biasa dengan kecekatannya,
Daendels memerintahkan bahwa ibukota direlokasikan ke jalan tersebut.
Bupati Wiranatakusumah II memilih sebuah tempat di bagian selatan jalan
dari sisi sungai sebelah barat Cikapundung, dekat sepasang sumur
keramat, Sumur Bandung, yang menurut rumor di lindungi oleh dewi Nyi
Kentring Manik. Di daerah ini dia membangun dalemnya (istananya) dan
alun-alun (pusat kota). Mengikuti orientasi tradisional, Mesjid Agung di
tempatkan di sisi selatan, dan pasar tradisional di sisi timur.
Rumahnya dan Pendopo (tempat pertemuan) terletak di bagian selatan
menghadap gunung keramat Tangkuban Perahu. Saat itulah Kota Kembang
lahir.
Sekitar pertengahan abad ke 19, Amerika Selatan cinchona (quinine),
teh Assam, dan kopi diperkenalkan pada para dataran tinggi. Pada akhir
abad itu Priangan terdaftar sebagai daerah pertanian paling
menguntungkan se-propinsi. Pada tahun 1880 rel kereta api menghubungkan
Jakarta dan Bandung telah selesai, dan menjanjikan perjalanan selama 2
1/2 jam dari keramaian ibukota Jakarta ke Bandung.
Dengan perubahan gaya hidup di Bandung, hotel, cafe, pertokoan muncul
untuk melayani para petani yang entah datang dari dataran tinggi atau
dari ibukota sampai daerah pesiar di Bandung. Kalangan masyarakat
Concordia terbentuk dan dengan ruang tarinya yang besar merupakan magnet
yang menarik orang untuk menghabiskan akhir pekan di kota. Hotel
Preanger dan Savoy Homann adalah hotel-hotel pilihan. Braga di sepanjang
trotoarnya terdapat toko-toko eksklusive Eropa.
Dengan adanya rel kereta api, cahaya perindustrian berkembang. Begitu
panen tanaman mentah telah dapat langsung dikirimkan ke Jakarta untuk
pengiriman lewat laut ke Eropa, sekarang proses utama dapat dilakukan
secara efisien di Bandung. Orang Cina yang tidak pernah tinggal di
Bandung berangsur-angsur datang untuk membantu menjalankan beberapa
fasilitas dan mesin dan pelayanan bagi industri-industri baru. Pecinan
muncul pada masa ini.
Pada masa awal abad ini, Pax Neerlandica di proklamasikan,
menghasilkan perubahan dari pemerintahan militer menjadi sipil. Dengan
ini muncul polis tentang desentralisasi untuk meringankan beban
administrasi dari pemerintahan pusat. Dan demikianlah Bandung menjadi
kotamadya pada tahun 1906.
Perubahan ini memberikan dampak besar pada kota. Balai kota dibangun
di ujung utara Braga untuk mengakomodasi pemerintahan yang baru,
terpisah dari sistem masyarakat yang asli. Ini kemudian di ikuti oleh
pengembangan yang jauh lebih besar saat markas besar militer dipindahkan
dari Batavia ke Bandung sekitar tahun 1920. Tempat yang dipilih adalah
di bagian timur Balai Kota, dan yang didalamnya terdapat tempat tinggal
bagi Panglima perang, kantor, barak, dan gudang persenjataan.
Pada awal abad ke-20 kebutuhan untuk mempunyai seorang profesional
yang memiliki kemampuan khusus menggerakan pendirian sekolah tinggi
teknik yang disponsori oleh warga kota Bandung. Pada saat yang sama
rencana untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung
sudah matang, kota ini di perluas ke utara. Distrik ibukota ditempatkan
di bagian timur laut, daerah yang tadinya adalah persawahan, dan sebuah
jalan raya direncanakan untuk dibuat sepanjang 2.5 kilometer menghadap
Gunung Tangkuban Perahu dengan Gedung Sate di ujung selatan, dan sebuah
monumen kolosal disisi lainnya. Pada kedua sisi dari gedung yang megah
ini akan terdapat permukiman bagi kantor-kantor milik permerintahan
kolonial.
Sepanjang bantaran sungai Cikapundung diantara pemandangan alam
terdapat Kampus Technische Hoogeschool, asrama dan bagian pengurus.
Bangunan tua kampus ini dan pemandangannya mencerminkan arsiteknya yang
genius Henri Maclain Pont. Di bagian barat daya disediakan untuk rumah
sakit dan institute Pasteur, di lingkungan pabrik kina yang tua.
Pembangunan ini direncanakan dengan sangat teliti mulai dari
arsitekturnya dan perawatan secara detail. Tahun sebelumnya tidak lama
sebelum pecahnya perang dunia ke 2 merupakan tahun keemasan bagi Bandung
dan dikenang sebagai Bandung Tempoe Doeloe.
Tonggak-Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Bandung menjadi ibukota provinsi Jawa
Barat. Bandung merupakan tempat terjadinya konferensi Bandung pada
tanggal 18 April – 24 April 1955 dengan tujuan untuk promosi ekonomi dan
kerjasama budaya antara negara Afrika dan Asia, dan untuk melawan
ancaman kolonialisme dan neokolonialisme oleh Amerika Serikat, Uni
Soviet atau negara-negara imperialis lainnya.